Logam energi baru, termasuk bijih nikel dan elemen tanah jarang, mengalami peningkatan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya akibat dorongan modern menuju energi berkelanjutan. Faktor-faktor ini mendorong lonjakan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk bahan baku penting ini, didorong oleh kendaraan listrik, penyimpanan energi terbarukan, dan teknologi bersih lainnya. Namun, lonjakan permintaan ini telah memunculkan krisis rantai pasokan yang semakin memperlihatkan kerentanan yang mengancam kelancaran aliran material penting yang dibutuhkan dalam transisi energi hijau. Dengan kata lain, blog ini akan menggambarkan situasi terkini pasar bijih nikel dan tanah jarang, tantangan yang ditimbulkan oleh rantai pasokan, serta solusi yang memungkinkan logam tersedia untuk industri masa depan. Selain itu, presentasi ini juga mengembangkan tren pasar, harga, dan perkiraan harga, setelah mengintegrasikan pandangan yang disajikan oleh Shanghai Metals Market, atau SMM.
Krisis Rantai Pasokan Bijih Nikel: Penyebab Kekhawatiran yang Meningkat
Nikel adalah logam yang sangat penting untuk pembuatan baterai lithium-ion dan kendaraan listrik. Pasokan nikel semakin menghadapi kendala serius, terutama terkait bijih nikel, bahan mentah dari mana nikel diekstraksi. Krisis rantai pasokan ini didorong oleh sejumlah faktor utama, termasuk produksi terbatas, ketegangan geopolitik, dan masalah lingkungan.
Menurut data terbaru dari SMM, Indonesia, yang memasok sekitar 30% nikel dunia, semakin sulit mempertahankan output yang lancar di tengah perubahan regulasi dan meningkatnya kekhawatiran lingkungan.
Per 3 Januari 2025, SMM melaporkan bahwa harga rata-rata bijih nikel laterit Indonesia mencapai USD 22/wmt (1,2% bebas bea masuk), sementara nikel matte berkadar tinggi telah mencapai USD 44/wmt (1,6% bebas bea masuk). Permintaan nikel meningkat pesat—terutama untuk baterai kendaraan listrik dan produksi baja tahan karat—sehingga ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan menghasilkan kenaikan harga yang sangat tajam. Hal ini terutama disebabkan oleh ledakan pasar kendaraan listrik baru-baru ini, yang diproyeksikan akan menjual lebih dari 30 juta unit setiap tahun pada 2030, menurut data dari Badan Energi Internasional (IEA)—yang kemungkinan akan melipatgandakan permintaan nikel pada 2040. Namun, bertentangan dengan proyeksi, produksi tidak dapat mengimbangi permintaan.
Tanah Jarang: Elemen Kritis dalam Transisi ke Energi Hijau
Di sini, diperlukan konsumsi yang sangat tinggi dalam pembuatan magnet, turbin angin, motor kendaraan listrik, dan sistem penyimpanan energi. Alasan kurangnya pasokan logam seperti neodymium, dysprosium, dan terbium adalah karena penambangan dan pemrosesan bijih yang mengandung logam-logam tersebut sangat rumit.
Menurut SMM, Laporan Strategi Pengadaan Tanah Jarang China mencerminkan bahwa pada Januari 2025, harga konsentrat tanah jarang seperti RE Carbonate adalah USD 3,901.08/mt, turun -12,57% dibandingkan bulan sebelumnya.
Namun, harga oksida tanah jarang, seperti neodymium oxide, terus meningkat dengan permintaan yang kuat dari sektor kendaraan listrik dan energi terbarukan. Faktanya, permintaan global untuk magnet tanah jarang—bahan utama dalam kendaraan listrik dan turbin angin—kemungkinan akan meningkat 15-20% setiap tahun. Rantai pasokan untuk material ini tetap rapuh, meskipun kebutuhannya meningkat. China mengontrol sekitar 70% produksi tanah jarang dunia, dan regulasi lingkungan yang lebih ketat pada penambangan telah mengurangi outputnya. Baru-baru ini, hal ini diperburuk oleh kebuntuan geopolitik antara China dan Amerika Serikat yang membuat rantai pasokan semakin rapuh untuk logam-logam yang mencakup pembatasan perdagangan dan tarif pada tanah jarang.
Lanskap Geopolitik: Implikasi untuk Pasokan Nikel dan Tanah Jarang
Konsentrasi ini pada dasarnya berarti bahwa risiko pasokan nikel dan tanah jarang sangat tinggi, terutama ditemukan di Indonesia dan China. Serangkaian peristiwa geopolitik baru-baru ini—perang dagang AS-China yang sedang berlangsung—telah memperbesar risiko tersebut.
Misalnya, Indonesia, yang kaya akan bijih nikel, baru-baru ini melarang ekspor nikel mentahnya untuk memastikan lebih banyak pemrosesan domestik dan penambahan nilai.
Meskipun kebijakan semacam itu mendorong industri lokal, hal ini juga membahayakan pasokan nikel ke pasar dunia. Pada Januari 2025, harga bijih nikel laterit Indonesia berfluktuasi sementara nikel matte berkadar tinggi dihargai rata-rata sekitar USD 12,336/ton nikel. Dengan pasokan besar bijih nikel berkualitas tinggi dari Indonesia yang berkurang, pemain utama dunia dalam rantai pasokan kendaraan listrik dan baterai terpaksa mengeksplorasi sumber alternatif, yang biasanya lebih mahal atau secara logistik sulit ditangani. Demikian pula, monopoli virtual China atas rantai pasokan logam tanah jarang dianggap merugikan keamanan pasokannya, karena sebagian besar pemrosesan dan pemurniannya dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan China.
Hal ini pada gilirannya memberi China kartu truf dalam sebagian besar perselisihan perdagangan karena mereka memasok material ini ke AS, Uni Eropa, dan Jepang. Ambil contoh kasus perang dagang AS-China. Ketika China mengancam pada 2019 bahwa mereka dapat menahan ekspor tanah jarangnya ke Amerika Serikat, gelombang kejut mulai dirasakan di pasar dunia.
Solusi untuk Krisis Rantai Pasokan
Pertama, terkait krisis rantai pasokan nikel dan tanah jarang, strategi perlu dikejar secara holistik. Beberapa cara tersebut meliputi:
1. Diversifikasi Sumber Pasokan
Dengan kata lain, diversifikasi adalah solusi paling mendesak untuk mengurangi ketergantungan pada negara atau wilayah tertentu. Negara-negara seperti Australia, Kanada, dan Rusia memiliki cadangan besar untuk nikel dan tanah jarang. Perusahaan dapat mengurangi risiko geopolitik dan gangguan pasokan dengan berinvestasi lebih banyak di tambang-tambang negara tersebut.
Misalnya, Australia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, terutama di wilayah West Musgrave, dan telah bekerja untuk memperluas kemampuan penambangannya. Menurut Departemen Industri, Sains, Energi, dan Sumber Daya Australia, negara ini memiliki sekitar 25% cadangan nikel global. Saat ini, perusahaan-perusahaan sedang meningkatkan eksplorasi dan produksi di negara-negara ini sebagai cara untuk mengurangi ketergantungan pada Indonesia.
Demikian pula, di luar China, produksi tanah jarang juga sedang ditingkatkan. Misalnya, Tambang Mountain Pass di California, AS memproduksi neodymium dan praseodymium, meningkatkan operasi, dan berinvestasi untuk meningkatkan pemurnian.
2. Daur Ulang dan Ekonomi Sirkular
Faktor lain yang dapat mengurangi tekanan pada rantai pasokan adalah infrastruktur daur ulang yang dikembangkan dengan baik. Permintaan untuk nikel dan tanah jarang akan tumbuh secara eksponensial, tetapi daur ulang dapat memainkan peran penting dalam mengurangi permintaan untuk material yang baru ditambang.
Misalnya, nikel dapat diperoleh kembali dari baterai lithium-ion bekas yang digunakan dalam kendaraan listrik dan sistem penyimpanan energi. Perusahaan-perusahaan yang memimpin daur ulang baterai ini menjadi produk untuk sirkularitas pasokan adalah Li-Cycle dan American Battery Technology Company. Hal ini tidak hanya akan mengurangi tekanan pada sumber daya alam tetapi juga mencoba mengurangi dampak lingkungan dari penambangan.
Demikian pula, magnet bekas dan limbah elektronik juga merupakan sumber potensial untuk pemulihan logam tanah jarang. Hal ini memerlukan peningkatan investasi dalam teknologi daur ulang yang membantu mengurangi ketergantungan pada material baru.
3. Investasi dalam Teknologi Penambangan dan Pemrosesan
Solusi jangka panjang mencakup investasi dalam teknologi penambangan dan pemrosesan yang mengurangi dampak lingkungan dan meningkatkan efisiensi dalam ekstraksi nikel dan tanah jarang. Teknologi baru seperti bioleaching dan penambangan laut dalam adalah area yang menjanjikan yang mungkin membuka sumber baru yang belum dimanfaatkan untuk logam-logam ini. Semua teknologi ini memerlukan penelitian dan pengembangan dengan pendanaan yang tepat dari pemerintah dan industri.
Kesimpulan: Jalan ke Depan
Rantai pasokan bijih nikel dan tanah jarang tertekan oleh lonjakan permintaan dengan latar belakang geopolitik.
Namun, solusi memang ada. Kita dapat melindungi diri dari risiko krisis rantai pasokan dengan mendiversifikasi pasokan, meningkatkan sistem daur ulang, dan berinvestasi dalam teknologi penambangan baru. Memenuhi permintaan global yang terus meningkat untuk teknologi energi bersih akan semakin membutuhkan material yang diperlukan, seperti nikel dan tanah jarang, tersedia untuk mendukung transisi hijau. Ini adalah tren yang tidak dapat diabaikan oleh bisnis mana pun; oleh karena itu, pentingnya wawasan yang disediakan oleh Shanghai Metals Market. SMM menawarkan data pasar mendalam, perkiraan, dan laporan tentang nikel dan tanah jarang untuk membantu bisnis tetap kompetitif di sektor energi baru yang berubah dengan cepat. Analisis mendalam oleh para ahli, bersama dengan tolok ukur harga dari SMM, adalah alat yang berguna untuk membantu mereka menavigasi kompleksitas ini dan merencanakan strategi secara efektif.



