Ikhtisar Kebijakan Pengendalian Devisa untuk Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA):
Baru-baru ini, kebijakan pengendalian devisa pemerintah Indonesia menarik perhatian besar.
Pada 17 Februari, Presiden Indonesia Prabowo mengeluarkan Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2025, mengumumkan Kebijakan Pengendalian Devisa untuk Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA). Mulai 1 Maret 2025, eksportir di sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan diwajibkan menyimpan 100% pendapatan devisa mereka di rekening khusus di bank milik negara selama 12 bulan, kecuali industri minyak dan gas bumi. Regulasi baru ini menandai perubahan, karena mewajibkan perusahaan di sektor-sektor tersebut untuk mempertahankan 30% dana mereka di dalam negeri setidaknya selama tiga bulan. Pejabat memperkirakan langkah ini akan meningkatkan cadangan devisa Indonesia di bank sentral sebesar 80 miliar dolar AS tahun ini. Saat ini, pemerintah Indonesia mencari cara untuk memperkuat rupiah. Selama tiga bulan terakhir, rupiah menjadi salah satu mata uang dengan kinerja terburuk di Asia terhadap dolar AS, akibat kekhawatiran atas ketegangan perdagangan global, perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan rencana pengeluaran besar-besaran Prabowo. Pelemahan yang berkepanjangan mendorong bank sentral Indonesia untuk melakukan intervensi di pasar guna mengurangi volatilitas dan meningkatkan kepercayaan pasar. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyatakan bahwa ia mengharapkan regulasi pendapatan devisa yang diperluas dapat meningkatkan pembiayaan domestik, menstabilkan rupiah, dan memperbaiki stabilitas sistem keuangan.
Tinjauan Detail Kebijakan:
Prabowo menyatakan bahwa regulasi ini akan berlaku mulai 1 Maret tahun ini dan akan wajib bagi eksportir pertambangan. Ia mengatakan: "Regulasi baru ini terutama ditujukan untuk pertambangan, kecuali minyak, gas bumi, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, serta mewajibkan devisa dari ekspor sumber daya alam disimpan di rekening khusus di bank milik negara. Minyak dan gas bumi akan tetap mengikuti ketentuan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2023. Dalam amandemen ini, pemerintah telah memperkuat regulasi sebelumnya." Prabowo menjelaskan beberapa amandemen utama:
1. Pemerintah mewajibkan semua devisa dari ekspor sumber daya alam disimpan dalam sistem keuangan Indonesia selama 12 bulan. Dana ini akan disimpan di rekening khusus di bank milik negara. Selain itu, untuk minyak dan gas bumi, ketentuan sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2023 tetap berlaku;
2. Pembayaran pajak, penerimaan negara bukan pajak, dan kewajiban pemerintah lainnya dalam mata uang asing diperbolehkan;
3. Pembayaran dividen dalam mata uang asing diperbolehkan;
4. Pembayaran dalam mata uang asing untuk pengadaan bahan baku, bahan penolong, atau barang modal yang tidak atau sebagian tersedia di dalam negeri diperbolehkan;
5. Pelunasan pinjaman dalam mata uang asing untuk pengadaan barang modal diperbolehkan.
Prabowo menjelaskan bahwa sanksi akan dikenakan kepada eksportir yang tidak mematuhi regulasi ini. Di masa depan, eksportir yang tidak mematuhi regulasi dapat menghadapi sanksi administratif, seperti penangguhan layanan ekspor. Selain itu, ia menyatakan bahwa pemerintah Indonesia masih memberikan ruang bagi eksportir untuk menjaga kelangsungan bisnis, memungkinkan mereka menggunakan dana devisa yang disimpan di rekening khusus di bank domestik untuk kebutuhan bisnis tertentu. Misalnya, devisa dapat dikonversi menjadi rupiah di bank yang sama untuk kegiatan operasional dan menjaga kelangsungan bisnis. Prabowo menekankan bahwa keputusan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia dan mendorong pembangunan ekonomi negara. Dari perspektif pembiayaan pembangunan, aliran modal domestik, peningkatan cadangan devisa, dan stabilitas nilai tukar, regulasi ini memiliki pentingnya yang signifikan.
Dampak Kebijakan terhadap Industri Nikel:
Menurut SMM, legislasi saat ini terutama ditujukan pada sumber daya alam, termasuk batu bara, dan tidak secara langsung membatasi ekspor produk pengolahan nikel Indonesia seperti MHP, matte nikel berkadar tinggi, dan NPI berkadar tinggi. Saat ini tidak ada pembatasan langsung terhadap ekspor produk pengolahan nikel Indonesia. Namun, pengendalian devisa Indonesia dapat menyebabkan peningkatan biaya bagi penambang dan peleburan, sehingga memengaruhi pasokan global komoditas massal. Misalnya, pengolahan nikel memerlukan impor peralatan peleburan atau bahan kimia, dan meningkatnya kesulitan dalam memperoleh devisa dapat secara implisit meningkatkan biaya investasi, menyebabkan penundaan proyek atau keterbatasan kapasitas. Selain itu, pengendalian devisa memiliki dampak signifikan pada nilai tukar dan sentimen pasar, yang berpotensi menyebabkan fluktuasi harga komoditas massal dan memengaruhi rantai pasokan nikel global.
Menurut statistik SMM, pada 2024, Indonesia diperkirakan akan mengekspor 1,562,900 ton produk antara hidrometalurgi nikel (MHP), di mana 1,556,200 ton akan diekspor ke China; 304,800 ton matte nikel, di mana 199,900 ton akan diekspor ke China; 163,100 ton nikel sulfat, di mana 74,800 ton akan diekspor ke China; dan 9,963,400 ton NPI, di mana 9,155,000 ton akan diekspor ke China. Sebagai importir terbesar produk nikel Indonesia, penerapan pengendalian devisa Indonesia dapat, sampai batas tertentu, memengaruhi sentimen pasar.
Sementara itu, sumber daya seperti batu bara, yang dibatasi oleh legislasi, dapat lebih mendorong adopsi logika penetapan harga batu bara baru Indonesia. Sebelumnya, penambang batu bara Indonesia menggunakan indeks ICI untuk penetapan harga ekspor, tetapi dengan diperkenalkannya regulasi baru, harga HBA dapat mengalami promosi yang signifikan.



